Hukum Pembagian Harta Waris yang Berlaku di Indonesia
Indonesia menganut perpaduan dari beberapa sistem hukum, yakni campuran dari hukum agama, hukum adat, dan hukum Eropa terutama Belanda yang dibawa saat menjajah Indonesia.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, memiliki ragam budaya dan adat istiadat yang sangat kaya, jauh sebelum Belanda datang menjajah Indonesia.
Hal ini dapat dibuktikan fakta sejarah yang menyatakan bahwa di Indonesia telah berdiri kerajaan-kerajaan yang daerah kekuasaannya sangat luas, bahkan sampai pada negeri tetangga seperti malaysia.
Sriwijaya, Kutai, Majapahit, dan lain sebagainya adalah beberapa kerajaan besar yang dulu pernah berkuasa di negeri ini.
Meninggalkan warisan-warisan budaya yang hingga saat ini masih bisa kita rasakan, dan jika dilihat dari sistem hukumnya, dapat kita lihat dari peraturan-peraturan adat yang masih hidup dan tetap bertahan hingga saat ini.
Nilai-nilai hukum adat yang masih melekat dan mengikat masyarakat Indonesia telah menjadi salah satu sumber hukum di Indonesia.
Indonesia memiliki tiga aturan hukum yang berbeda mengenai aturan hukum pembagian harta warisan ini, yakni berdasarkan:
1. Hukum Perdata
2. Hukum Adat
3. Hukum Islam
Hukum perdata diberlakukan bagi golongan Tionghoa dan timur asing.
Hukum adat yang bersumber dari masing-masing daerah Adat Indonesa.
Hukum Islam yang tentunya diberlakukan bagi orang Indonesia yang beragama Islam.
Warisan merupakan salah satu perkara yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia.
Namun, walaupun warisan ini merupakan suatu masalah penting, namun seringkali perihal warisan ini menimbulkan berbagai permasalahan.
Maka tak heran, jika banyak keluarga dan saudara yang memutuskan tali persaudaraannya hanya karena masalah hak waris ini.
Permasalahan yang biasanya timbul adalah mengenai perbedaan pendapat tentang kesetaraan dan keadilan pembagian hak waris.
Perhitungan warisan bisa dikatakan cukup rumit, karena itu kita perlu untuk memikirkannya dari sekarang dan tidak lagi menyepelekan dan menomorduakan perihal warisan ini.
Jangan sampai, perihal warisan ini akan menjadi sebuah masalah besar dikemudian hari, apalagi sampai memutuskan tali persaudaraan dan keluarga.
Karena itu, kita perlu mempelajari dan memahami hukum waris di negeri kita ini - Indonesia.
Sehingga, saat terjadi pembagian warisan, kata mufakat akan sangat mudah dicapai, dan kemungkinan untuk terjadinya perselisihan dan omongan miring di belakang pun dapat dihindari.
Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, hukum waris dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang setelah pewaris meninggal dunia, dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain atau ahli waris.
Pengertian hukum waris ini sendiri tidak tercantum didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Akan tetapi, tata cara pengaturan hukum waris itu sendiri diatur oleh KUHPerdata.
Sedangkan pengertian hukum waris berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, adalah hukum yang mengatur pemindahan hak kepemilikan atas harta peninggalan pewaris, lalu menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagiannya masing-masing.
Hukum waris tidak terlepas dari beberapa unsur, yakni:
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia atau orang yang meninggalkan harta waris, atau orang yang memberikan warisan disebut pewaris. Pewaris biasanya melimpahkan harta ataupun kewajibannya (hutang) kepada orang lain atau ahli waris.
Ahli waris adalah orang yang menerima warisan, yakni orang yang diberi hak secara hukum untuk menerima harta dan kewajiban (hutang) yang ditinggalkan oleh pewaris.
Harta warisan adalah segala sesuatu yang diberikan kepada ahli waris yang ditinggalkan oleh pewaris, baik itu berupa hak atau harta maupun kewajiban berupa hutang.
Lihat juga: Surat Pengakuan Hutang
Di Indonesia sendiri hukum waris mengenal beberapa macam sistem pewarisan, yakni:
Sistem Keturunan
Sistem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
1. Sistem patrilineal yaitu berdasarkan garis keturunan bapak,
2. Sistem matrilineal berdasarkan garis keturunan ibu,
3. Sistem bilateral yaitu sistem berdasarkan garis keturunan kedua orang tua.
Sistem Individual
Berdasarkan sistem ini, setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing.
Pada umumnya sistem ini diterapkan pada masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan bilateral seperti Jawa dan Batak.
Sistem Kolektif
Ahli waris menerima harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaannya ataupun kepemilikannya.
Dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut.
Contohnya: barang pusaka di suatu masyarakat tertentu.
Sistem Mayorat
Dalam sistem mayorat, harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu.
Misalnya kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.
Contohnya: di masyarakat Bali dan Lampung, harta warisan dilimpahkan kepada anak tertua dan di Sumatra Selatan kepada anak perempuan tertua.
Indonesia menganut 3 aturan hukum waris, sehingga di Indonesia belum ada hukum waris yang berlaku secara nasional.
Adapun hukum waris yang berlaku di Indonesia adalah hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum waris perdata.
Masing-masing hukum waris di Indonesia ini memiliki aturan yang berbeda-beda, yakni:
Indonesia yang memiliki banyak suku, agama dan adat istiadat yang berbeda-beda, dan dapat dilihat dari bentuk negaranya yakni kepulauan.
Hal ini sangat mempengaruhi aturan hukum yang berlaku di tiap golongan masyarakat, dan dikenal dengan sebutan hukum adat.
Menurut Ter Haar, dalam bukunya yang berjudul; "Beginselen en Stelsel van het Adatrecht (1950)", hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur penerusan dan peralihan dari abad ke abad baik harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut.
Bentuk hukum adat itu sendiri biasanya tidak tertulis, hanya berupa norma dan adat-istiadat yang berlaku, yang harus dipatuhi oleh masyarakat dalam suatu daerah tertentu dan hanya berlaku di daerah itu saja, yang disertai dengan sanksi-sanksi tertentu bagi yang melanggarnya.
Lihat: Izin Menjual dan/ atau Menjaminkan Tanah an. Anak yang Belum Dewasa
Karena itu, hukum waris adat dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan dan kekerabatannya.
Hukum waris perdata atau yang sering disebut hukum waris barat berlaku untuk masyarakat Indonesia nonmuslim, termasuk warga negara keturunan, baik Tionghoa maupun Eropa yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP).
Hukum waris perdata menganut sistem individual di mana setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing.
Dalam hukum waris perdata ada dua cara mewariskan, yakni:
Mewariskan tanpa surat wasiat atau Ab-instentato dan ahli warisnya disebut dengan Ab-instaat didasarkan pada undang-undang,
Berdasarkan undang-undang, ada 4 golongan ahli waris yakni, terdiri dari:
Yakni berupa pernyataan seseorang (pewaris) tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia yang oleh si pembuatnya dapat diubah atau dicabut kembali selama ia masih hidup sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 992.
Cara pembatalannya juga harus dengan wasiat baru atau dilakukan dengan Notaris.
Syarat pembuatan surat wasiat ini berlaku bagi mereka yang sudah sudah dewasa atau berusia 18 tahun atau lebih dan atau sudah menikah meski belum berusia 18 tahun.
Yang termasuk golongan ahli waris berdasarkan surat wasiat adalah semua orang yang ditunjuk oleh pewaris melalui surat wasiat untuk menjadi ahli warisnya.
Hukum waris Islam berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam dan diatur dalam Pasal 171-214 Kompilasi Hukum Indonesia.
Yaitu materi hukum Islam yang ditulis dalam 229 pasal.
Dalam hukum waris Islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat.
Sehingga pewaris bisa berasal dari pihak bapak atau ibu.
Dalam agama Islam, harta waris menjadi harta yang diberikan dari seseorang yang sudah meninggal pada orang terdekat seperti keluarga dan kerabat yang ditinggalkan.
Untuk pembagian harta waris di dalam hukum Islam itu sendiri sudah diatur dengan sangat jelas pada kitab suci umat Islam - Al Quran, yakni di Surat An Nisa.
Allah SWT dengan segala rahmat-Nya juga sudah memberikan bimbingan untuk mengarahkan manusia dalam urusan pembagian harta warisan.
Pembagian harta warisan ini memiliki tujuan supaya diantara manusia yang sudah ditinggalkan tidak menimbulkan pertengkaran dan perselisihan.
Dalam hukum waris Islam, ada 3 hal penting mengenai harta warisan yang ditinggalkan dan akan diberikan kepada ahli waris yang harus dikeluarkan, yakni:
Tiga hal ini haruslah dipenuhi terlebih dahulu sebelum pembagian harta waris mulai diberikan kepada keluarga, atau kerabat yang ditinggalkan dan yang berhak menerima harta waris tersebut.
Hukum waris Islam sangat penting untuk dipahami dan dipelajari. Dengan maksud, supaya tidak terjadi kesalahan dalam penentuan ahli waris dan pembagiannya, serta dapat dilaksanakan dengan adil.
Karena dalam hukum waris Islam, pembagian harta waris erat hubungannya dengan amalan/ ibadah dalam agama Islam.
Dengan hukum waris Islam ini, maka seseorang bisa terhindar dari dosa, yakni tidak memakan harta orang lain yang bukan haknya.
Seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya:
“Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan mengabarkannya.” (HR. Ahmad Turmudzi dan An Nasa’I”).
Dari hadits tersebut, jelas mengabarkan bahwa hukum harta waris menurut Islam menjadi sangat penting, khususnya untuk penegak hukum syariat Islam dengan mutlak.
Berdasarkan pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan yang sudah ditetapkan dalam mengatur harta waris ini, yaitu:
Apabila pewaris tidak meninggalkan harta warisan apapun, ahli pewaris tidak diketahui keberadaannya, maka harta waris yang didasari putusan Pengadilan Agama akan diserahkan pada Baitul Maal untuk kepentingan Islam dan kesejahteraan umum [Pasal 191].
Jika pewaris memiliki istri lebih dari satu, maka masing-masing mendapatkan gono gini dari rumah tangga dengan suami dan semua bagian pewaris menjadi hak untuk ahli waris [Pasal 190 KH].
Lihat juga: Gugatan Perdata di Pengadilan Negeri
Untuk duda akan mendapat separuh bagian jika pewaris tidak meninggalkan anak.
Namun jika meninggalkan anak maka akan mendapat seperempat bagian [Pasal 179 KHI].
Untuk janda mendapat seperempat bagian jika pewaris tidak meninggalkan anak.
Namun jika ada meninggalkan anak maka janda akan mendapat seperempat bagian [Pasal 180 KHI].
Dalam hukum waris Islam, membagi bagian untuk para ahli waris, dapat dilihat sebagai berikut:
Untuk bagian dari setiap ahli waris yakni istri akan mendapat 1/4 bagian jika pewaris yang meninggal tidak memberikan anak atau cucu.
Sementara istri akan mendapat 1/8 bagian apabila pewaris memiliki anak atau cucu dan istri tidak pernah terhijab dari ahli waris.
Hal yang menjadi dasar hukum bagian untuk istri adalah firman dari Allah SWT dari surat An Nisa ayat 12:
“Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak, dan jika kamu mempunyai anak, maka isteri-isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat atau setelah dibayar hutang-hutangmu”.
Sedangkan untuk suami akan mendapat 1/2 bagian jika pewaris tidak memiliki anak. Dan 1/4 bagian jika pewaris memiliki anak.
Pembagian warisan untuk suami ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 12:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua bagian dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika tidak mempunyai anak, dan jika ada anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar hutang-hutangnya”.
Sementara itu, untuk pembagian warisan bagi anak perempuan adalah akan mendapat 1/2 bagian jika pewaris memiliki anak laki-laki.
Dua anak perempuan atau lebih akan mendapat 2/3 bagian jika pewaris tidak memiliki anak laki-laki.
Anak perempuan dan anak laki-laki maka bagiannya adalah dua banding satu yakni anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan mendapat satu bagian yang berdasarkan firman Allah SWT:
“Jika anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.
Untuk warisan anak laki-laki akan mendapat seluruh warisan jika hanya satu orang anak sebagai ashabah, jika tidak ada ahli waris dzawil furudz.
Tetapi jika ahli waris dzawil furudz maka hanya mendapat ashabah atau sisa sesudah dibagikan untuk ahli waris dzawil furudz atau ashabah bin nafsih.
Jika anak laki-laki dua orang atau lebih dan tidak terdapat anak perempuan dan ahli waris dzawil furudz lain, maka harta warisan akan dibagi rata.
Akan tetapi jika ada anak perempuan maka dibagi menjadi dua banding satu berdasarkan dari surat An Nisa ayat 11 dan 12.
Ibu akan menerima warisan sebanyak 1/6 jika pewaris yang wafat meninggalkan anak dan mendapat 1/3 bagian jika pewaris tidak memiliki anak.
Dari antara harta waris yang ada dan jika ada ibu yang dihijab ibu ialah nenek dari pihak ibu yakni ibu dari ibu dan seterusnya.
Nenek dari pihak bapak yakni ibu dari bapak dan seterusnya.
Sumber Foto Ilustrasi:
FB: Pusaka Harta
Oleh: Sofyan Bakir
Berdasarkan surat An Nisa ayat 11:
“Dan untuk dua orang ibu bapak, baginya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika pewaris itu mempunyai anak”.
Bagian warisan untuk bapak jika pewaris memiliki anak laki-laki atau cucu dari anak laki-laki adalah 1/6 bagian dari harta peninggalan dan sisanya untuk anak laki-laki.
Jika pewaris hanya meninggalkan bapak maka bapak akan mendapat seluruh harta peninggalan memakai jalan ashabah.
Jika pewaris meninggalkan ibu dan bapak maka ibu akan mendapat 1/3 dan bapak mendapat 2/3 bagian.
Jika pewaris hanya meninggalkan nenek dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek mendapat 1/6 bagian.
Jika pewaris meninggalkan nenek lebih dari satu dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek akan mendapat 1/6 bagian yang akan dibagi rata diantara nenek.
Menurut hukum Islam mengenai ahli waris, ada beberapa jenis orang yang tidak berhak untuk menerima harta waris, yakni:
Apabila pewaris meninggalkan ibu, maka semua nenek akan terhalang baik itu nenek pihak ibu dan pihak ayah.
Sedangkan jika semua ahli waris masih ada, maka yang berhak untuk mendapatkan harta warisan hanyalah anak laki-laki dan perempuan, ayah, ibu, janda dan duda sementara untuk ahli waris lain akan terhalang.
Demikian penjelasan lengkap terkait Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam, yang kami kutip dari (dalamislam,com).
Dari penjelasan diatas tentang hukum waris yang berlaku di Indonesia, maka kita perlu mengetahui kebutuhan yang dapat mencakup keluarga besar kita.
Rumit memang, apalagi jika sudah sampai pada perhitungannya pembagian harta warisnya.
Namun, semua perlu untuk kita pahami dan pelajari, agar tidak menjadi masalah dikemudian hari.
Apabila menemui kesulitan, ada baiknya kita membicarakannya dengan orang terdekat, atau meminta pendapat kepada ahlinya.
Liihat juga: Hukum Acara Perdata dalam Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Selain itu, ingatlah dan perhatikan wasiat orang tertua. Wasiat orang tua yang sudah meninggal bisa menjadi kewajiban yang harus ditunaikan oleh ahli waris.
Semua yang telah kita capai saat ini, tentu tidak diperoleh dengan mudah. Karena itu kita ingin memastikan bahwa hasil kerja keras kita dapat dinikmati oleh orang-orang terkasih, tanpa meninggalkan permasalahan dikemudian hari.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, memiliki ragam budaya dan adat istiadat yang sangat kaya, jauh sebelum Belanda datang menjajah Indonesia.
Hal ini dapat dibuktikan fakta sejarah yang menyatakan bahwa di Indonesia telah berdiri kerajaan-kerajaan yang daerah kekuasaannya sangat luas, bahkan sampai pada negeri tetangga seperti malaysia.
Sriwijaya, Kutai, Majapahit, dan lain sebagainya adalah beberapa kerajaan besar yang dulu pernah berkuasa di negeri ini.
Hukum Waris di Indonesia
Meninggalkan warisan-warisan budaya yang hingga saat ini masih bisa kita rasakan, dan jika dilihat dari sistem hukumnya, dapat kita lihat dari peraturan-peraturan adat yang masih hidup dan tetap bertahan hingga saat ini.
Nilai-nilai hukum adat yang masih melekat dan mengikat masyarakat Indonesia telah menjadi salah satu sumber hukum di Indonesia.
Aturan Hukum Pembagian Harta Waris
Indonesia memiliki tiga aturan hukum yang berbeda mengenai aturan hukum pembagian harta warisan ini, yakni berdasarkan:
1. Hukum Perdata
2. Hukum Adat
3. Hukum Islam
Hukum perdata diberlakukan bagi golongan Tionghoa dan timur asing.
Hukum adat yang bersumber dari masing-masing daerah Adat Indonesa.
Hukum Islam yang tentunya diberlakukan bagi orang Indonesia yang beragama Islam.
Warisan merupakan salah satu perkara yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia.
Namun, walaupun warisan ini merupakan suatu masalah penting, namun seringkali perihal warisan ini menimbulkan berbagai permasalahan.
Maka tak heran, jika banyak keluarga dan saudara yang memutuskan tali persaudaraannya hanya karena masalah hak waris ini.
Permasalahan yang biasanya timbul adalah mengenai perbedaan pendapat tentang kesetaraan dan keadilan pembagian hak waris.
Perhitungan warisan bisa dikatakan cukup rumit, karena itu kita perlu untuk memikirkannya dari sekarang dan tidak lagi menyepelekan dan menomorduakan perihal warisan ini.
Jangan sampai, perihal warisan ini akan menjadi sebuah masalah besar dikemudian hari, apalagi sampai memutuskan tali persaudaraan dan keluarga.
Karena itu, kita perlu mempelajari dan memahami hukum waris di negeri kita ini - Indonesia.
Sehingga, saat terjadi pembagian warisan, kata mufakat akan sangat mudah dicapai, dan kemungkinan untuk terjadinya perselisihan dan omongan miring di belakang pun dapat dihindari.
Apa itu Hukum Waris?
Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, hukum waris dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang setelah pewaris meninggal dunia, dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain atau ahli waris.
Pengertian hukum waris ini sendiri tidak tercantum didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Akan tetapi, tata cara pengaturan hukum waris itu sendiri diatur oleh KUHPerdata.
Sedangkan pengertian hukum waris berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, adalah hukum yang mengatur pemindahan hak kepemilikan atas harta peninggalan pewaris, lalu menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagiannya masing-masing.
Unsur-Unsur Hukum Waris
Hukum waris tidak terlepas dari beberapa unsur, yakni:
Pewaris
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia atau orang yang meninggalkan harta waris, atau orang yang memberikan warisan disebut pewaris. Pewaris biasanya melimpahkan harta ataupun kewajibannya (hutang) kepada orang lain atau ahli waris.
Ahli waris
Ahli waris adalah orang yang menerima warisan, yakni orang yang diberi hak secara hukum untuk menerima harta dan kewajiban (hutang) yang ditinggalkan oleh pewaris.
Harta warisan
Harta warisan adalah segala sesuatu yang diberikan kepada ahli waris yang ditinggalkan oleh pewaris, baik itu berupa hak atau harta maupun kewajiban berupa hutang.
Lihat juga: Surat Pengakuan Hutang
Sistem Pewarisan di Indonesia
Di Indonesia sendiri hukum waris mengenal beberapa macam sistem pewarisan, yakni:
Sistem Keturunan
Sistem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
1. Sistem patrilineal yaitu berdasarkan garis keturunan bapak,
2. Sistem matrilineal berdasarkan garis keturunan ibu,
3. Sistem bilateral yaitu sistem berdasarkan garis keturunan kedua orang tua.
Sistem Individual
Berdasarkan sistem ini, setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing.
Pada umumnya sistem ini diterapkan pada masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan bilateral seperti Jawa dan Batak.
Sistem Kolektif
Ahli waris menerima harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaannya ataupun kepemilikannya.
Dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut.
Contohnya: barang pusaka di suatu masyarakat tertentu.
Sistem Mayorat
Dalam sistem mayorat, harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu.
Misalnya kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.
Contohnya: di masyarakat Bali dan Lampung, harta warisan dilimpahkan kepada anak tertua dan di Sumatra Selatan kepada anak perempuan tertua.
Hukum Pembagian Harta Waris di Indonesia
Indonesia menganut 3 aturan hukum waris, sehingga di Indonesia belum ada hukum waris yang berlaku secara nasional.
Adapun hukum waris yang berlaku di Indonesia adalah hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum waris perdata.
Masing-masing hukum waris di Indonesia ini memiliki aturan yang berbeda-beda, yakni:
1. Hukum Waris Adat
Indonesia yang memiliki banyak suku, agama dan adat istiadat yang berbeda-beda, dan dapat dilihat dari bentuk negaranya yakni kepulauan.
Hal ini sangat mempengaruhi aturan hukum yang berlaku di tiap golongan masyarakat, dan dikenal dengan sebutan hukum adat.
Menurut Ter Haar, dalam bukunya yang berjudul; "Beginselen en Stelsel van het Adatrecht (1950)", hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur penerusan dan peralihan dari abad ke abad baik harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut.
Bentuk hukum adat itu sendiri biasanya tidak tertulis, hanya berupa norma dan adat-istiadat yang berlaku, yang harus dipatuhi oleh masyarakat dalam suatu daerah tertentu dan hanya berlaku di daerah itu saja, yang disertai dengan sanksi-sanksi tertentu bagi yang melanggarnya.
Lihat: Izin Menjual dan/ atau Menjaminkan Tanah an. Anak yang Belum Dewasa
Karena itu, hukum waris adat dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan dan kekerabatannya.
2. Hukum Waris Perdata
Hukum waris perdata atau yang sering disebut hukum waris barat berlaku untuk masyarakat Indonesia nonmuslim, termasuk warga negara keturunan, baik Tionghoa maupun Eropa yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP).
Hukum waris perdata menganut sistem individual di mana setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing.
Dalam hukum waris perdata ada dua cara mewariskan, yakni:
A. Mewariskan Tanpa Surat Wasiat (Ab-instentato)
Mewariskan tanpa surat wasiat atau Ab-instentato dan ahli warisnya disebut dengan Ab-instaat didasarkan pada undang-undang,
Berdasarkan undang-undang, ada 4 golongan ahli waris yakni, terdiri dari:
- Golongan I : suami, istri dan anak-anak beserta keturunannya;
- Golongan II : orang tua, saudara-saudara beserta keturunannya;
- Golongan III : kakek, nenek dan seterusnya ke atas;
- Golongan IV : keluarga dalam garis menyamping yang lebih jauh, termasuk saudara-saudara ahli waris golongan III beserta keturunannya.
B. Mewariskan Berdasarkan Surat Wasiat
Yakni berupa pernyataan seseorang (pewaris) tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia yang oleh si pembuatnya dapat diubah atau dicabut kembali selama ia masih hidup sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 992.
Cara pembatalannya juga harus dengan wasiat baru atau dilakukan dengan Notaris.
Syarat pembuatan surat wasiat ini berlaku bagi mereka yang sudah sudah dewasa atau berusia 18 tahun atau lebih dan atau sudah menikah meski belum berusia 18 tahun.
Yang termasuk golongan ahli waris berdasarkan surat wasiat adalah semua orang yang ditunjuk oleh pewaris melalui surat wasiat untuk menjadi ahli warisnya.
3. Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam dan diatur dalam Pasal 171-214 Kompilasi Hukum Indonesia.
Yaitu materi hukum Islam yang ditulis dalam 229 pasal.
Dalam hukum waris Islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat.
Sehingga pewaris bisa berasal dari pihak bapak atau ibu.
Dalam agama Islam, harta waris menjadi harta yang diberikan dari seseorang yang sudah meninggal pada orang terdekat seperti keluarga dan kerabat yang ditinggalkan.
Untuk pembagian harta waris di dalam hukum Islam itu sendiri sudah diatur dengan sangat jelas pada kitab suci umat Islam - Al Quran, yakni di Surat An Nisa.
Allah SWT dengan segala rahmat-Nya juga sudah memberikan bimbingan untuk mengarahkan manusia dalam urusan pembagian harta warisan.
Pembagian harta warisan ini memiliki tujuan supaya diantara manusia yang sudah ditinggalkan tidak menimbulkan pertengkaran dan perselisihan.
Hal Penting Peninggalan Pewaris
Dalam hukum waris Islam, ada 3 hal penting mengenai harta warisan yang ditinggalkan dan akan diberikan kepada ahli waris yang harus dikeluarkan, yakni:
- Semua biaya berhubungan dengan pemakaman jenazah (pewaris)
- Wasiat dari orang yang meninggal (pewaris)
- Hutang piutang yang ditinggalkan orang yang meninggal (pewaris)
Tiga hal ini haruslah dipenuhi terlebih dahulu sebelum pembagian harta waris mulai diberikan kepada keluarga, atau kerabat yang ditinggalkan dan yang berhak menerima harta waris tersebut.
Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Islam
Hukum waris Islam sangat penting untuk dipahami dan dipelajari. Dengan maksud, supaya tidak terjadi kesalahan dalam penentuan ahli waris dan pembagiannya, serta dapat dilaksanakan dengan adil.
Karena dalam hukum waris Islam, pembagian harta waris erat hubungannya dengan amalan/ ibadah dalam agama Islam.
Dengan hukum waris Islam ini, maka seseorang bisa terhindar dari dosa, yakni tidak memakan harta orang lain yang bukan haknya.
Seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya:
“Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan mengabarkannya.” (HR. Ahmad Turmudzi dan An Nasa’I”).
Dari hadits tersebut, jelas mengabarkan bahwa hukum harta waris menurut Islam menjadi sangat penting, khususnya untuk penegak hukum syariat Islam dengan mutlak.
Berdasarkan pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan yang sudah ditetapkan dalam mengatur harta waris ini, yaitu:
- Hukum harta warisan adalah hukum yang mengatur mengenai pemindahan hak kepemilikan pewaris dan menentukan siapa saja yang memiliki hak dan berapa banyak setiap bagiannya.
- Pewaris merupakan seseorang yang disaat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
- Ahli waris merupakan orang yang disaat meninggal memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris yang beragama Islam dan tidak terhalang hukum untuk menjadi ahli waris.
- Harta peninggalan merupakan harta yang ditinggalkan pewaris berupa harta benda yang menjadi miliknya.
- Harta waris merupakan harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah dipakai untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggal, biaya mengurus jenazah, membayar hutang dan memberikan untuk kerabat.
- Wasiat merupakan pemberian sebuah benda dari pewaris pada orang lain atau lembaga yang berlaku sesudah pewaris wafat.
- Hibah merupakan pemberian benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang pada orang lain yang masih hidup.
- Baitul Maal merupakan balai harta keagamaan.
- Mengurus dan menuntaskan sampai pemakaman jenazah selesai
- Menyelesaikan hutang piutang seperti biaya pengobatan, perawatan dan kewajiban pewaris atau menagih piutang
- Menyelesaikan masalah wasiat pewaris
- Membagikan harta warisan pada ahli waris yang memang berhak
Apabila pewaris tidak meninggalkan harta warisan apapun, ahli pewaris tidak diketahui keberadaannya, maka harta waris yang didasari putusan Pengadilan Agama akan diserahkan pada Baitul Maal untuk kepentingan Islam dan kesejahteraan umum [Pasal 191].
Jika pewaris memiliki istri lebih dari satu, maka masing-masing mendapatkan gono gini dari rumah tangga dengan suami dan semua bagian pewaris menjadi hak untuk ahli waris [Pasal 190 KH].
Lihat juga: Gugatan Perdata di Pengadilan Negeri
Untuk duda akan mendapat separuh bagian jika pewaris tidak meninggalkan anak.
Namun jika meninggalkan anak maka akan mendapat seperempat bagian [Pasal 179 KHI].
Untuk janda mendapat seperempat bagian jika pewaris tidak meninggalkan anak.
Namun jika ada meninggalkan anak maka janda akan mendapat seperempat bagian [Pasal 180 KHI].
Bagian Ahli Waris Menurut Islam
Dalam hukum waris Islam, membagi bagian untuk para ahli waris, dapat dilihat sebagai berikut:
Bagian Warisan untuk Istri
Untuk bagian dari setiap ahli waris yakni istri akan mendapat 1/4 bagian jika pewaris yang meninggal tidak memberikan anak atau cucu.
Sementara istri akan mendapat 1/8 bagian apabila pewaris memiliki anak atau cucu dan istri tidak pernah terhijab dari ahli waris.
Hal yang menjadi dasar hukum bagian untuk istri adalah firman dari Allah SWT dari surat An Nisa ayat 12:
“Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak, dan jika kamu mempunyai anak, maka isteri-isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat atau setelah dibayar hutang-hutangmu”.
Bagian Warisan untuk Suami
Sedangkan untuk suami akan mendapat 1/2 bagian jika pewaris tidak memiliki anak. Dan 1/4 bagian jika pewaris memiliki anak.
Pembagian warisan untuk suami ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 12:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua bagian dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika tidak mempunyai anak, dan jika ada anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar hutang-hutangnya”.
Bagian Warisan untuk Anak Perempuan
Sementara itu, untuk pembagian warisan bagi anak perempuan adalah akan mendapat 1/2 bagian jika pewaris memiliki anak laki-laki.
Dua anak perempuan atau lebih akan mendapat 2/3 bagian jika pewaris tidak memiliki anak laki-laki.
Anak perempuan dan anak laki-laki maka bagiannya adalah dua banding satu yakni anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan mendapat satu bagian yang berdasarkan firman Allah SWT:
“Jika anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.
Bagian Warisan untuk Anak Laki-Laki
Untuk warisan anak laki-laki akan mendapat seluruh warisan jika hanya satu orang anak sebagai ashabah, jika tidak ada ahli waris dzawil furudz.
Tetapi jika ahli waris dzawil furudz maka hanya mendapat ashabah atau sisa sesudah dibagikan untuk ahli waris dzawil furudz atau ashabah bin nafsih.
Jika anak laki-laki dua orang atau lebih dan tidak terdapat anak perempuan dan ahli waris dzawil furudz lain, maka harta warisan akan dibagi rata.
Akan tetapi jika ada anak perempuan maka dibagi menjadi dua banding satu berdasarkan dari surat An Nisa ayat 11 dan 12.
Bagian Warisan untuk Ibu
Ibu akan menerima warisan sebanyak 1/6 jika pewaris yang wafat meninggalkan anak dan mendapat 1/3 bagian jika pewaris tidak memiliki anak.
Dari antara harta waris yang ada dan jika ada ibu yang dihijab ibu ialah nenek dari pihak ibu yakni ibu dari ibu dan seterusnya.
Nenek dari pihak bapak yakni ibu dari bapak dan seterusnya.
Sumber Foto Ilustrasi:
FB: Pusaka Harta
Oleh: Sofyan Bakir
Berdasarkan surat An Nisa ayat 11:
“Dan untuk dua orang ibu bapak, baginya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika pewaris itu mempunyai anak”.
Bagian Warisan untuk Bapak
Bagian warisan untuk bapak jika pewaris memiliki anak laki-laki atau cucu dari anak laki-laki adalah 1/6 bagian dari harta peninggalan dan sisanya untuk anak laki-laki.
Jika pewaris hanya meninggalkan bapak maka bapak akan mendapat seluruh harta peninggalan memakai jalan ashabah.
Jika pewaris meninggalkan ibu dan bapak maka ibu akan mendapat 1/3 dan bapak mendapat 2/3 bagian.
Bagian Warisan untuk Nenek
Jika pewaris hanya meninggalkan nenek dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek mendapat 1/6 bagian.
Jika pewaris meninggalkan nenek lebih dari satu dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek akan mendapat 1/6 bagian yang akan dibagi rata diantara nenek.
Orang Yang Tidak Berhak Atas Warisan
Menurut hukum Islam mengenai ahli waris, ada beberapa jenis orang yang tidak berhak untuk menerima harta waris, yakni:
- Pembunuh pewaris berdasarkan dari hadits yang diriwayatkan Al Timidzi, Ibnu Majah, Abu Daud dan An Nasa’i.
- Orang murtad yakni keluar dari Islam berdasarkan dari hadits yang diriwayatkan Abu Bardah.
- Orang yang berbeda agama dengan pewaris yakni tidak menganut Islam atau kafir.
- Anak zina yakni anak yang lahir dari hubungan diluar nikah berdasarkan hadits yang diriwayatkan At Timidzi [Hazairin, 1964:57].
Apabila pewaris meninggalkan ibu, maka semua nenek akan terhalang baik itu nenek pihak ibu dan pihak ayah.
Sedangkan jika semua ahli waris masih ada, maka yang berhak untuk mendapatkan harta warisan hanyalah anak laki-laki dan perempuan, ayah, ibu, janda dan duda sementara untuk ahli waris lain akan terhalang.
Demikian penjelasan lengkap terkait Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam, yang kami kutip dari (dalamislam,com).
Pembagian Warisan yang Adil
Dari penjelasan diatas tentang hukum waris yang berlaku di Indonesia, maka kita perlu mengetahui kebutuhan yang dapat mencakup keluarga besar kita.
Rumit memang, apalagi jika sudah sampai pada perhitungannya pembagian harta warisnya.
Namun, semua perlu untuk kita pahami dan pelajari, agar tidak menjadi masalah dikemudian hari.
Apabila menemui kesulitan, ada baiknya kita membicarakannya dengan orang terdekat, atau meminta pendapat kepada ahlinya.
Liihat juga: Hukum Acara Perdata dalam Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Selain itu, ingatlah dan perhatikan wasiat orang tertua. Wasiat orang tua yang sudah meninggal bisa menjadi kewajiban yang harus ditunaikan oleh ahli waris.
Semua yang telah kita capai saat ini, tentu tidak diperoleh dengan mudah. Karena itu kita ingin memastikan bahwa hasil kerja keras kita dapat dinikmati oleh orang-orang terkasih, tanpa meninggalkan permasalahan dikemudian hari.
TENTANG KAMI : Situs yang didedikasikan sebagai tempat untuk belajar Soal CPNS, Psikotes dan Blogging. Informasi terkini tentang Drakor terbaru, Loker, Lifestyle dan Teknologi. Terus ikuti kami untuk update artikel terbaru, atau ikuti kami di Facebook dan Twitter.
Posting Komentar untuk "Hukum Pembagian Harta Waris yang Berlaku di Indonesia"