Soal Media yang Berisik Pagi Siang Malam Jelang Reuni 212, Tapi Ngumpet Saat Reuni 212 - oleh Babeh Balya Nur
Reuni 212 telah berakhir dengan sukses. Tapi polemiknya belum juga reda. Kali ini polemik soal media yang enggan memberitakan persitiwa besar itu.
Bahkan Prabowo mengatakan, awak media yang menutup mata pada peristiwa itu tidak pantas disebut jurnalis. Mungkin saja Prabowo berlebihan.
Tapi itu sebagai akumulasi kekesalannya pada media mainstream yang beberapa kali “mengerjainya.”
Terakhir, pelintiran media atas pidato Prabowo soal Yerusalem. Media luar negeri sudah meralar pelintirannya, media dalam negeri pura-pura nggak merasa bersalah.
Dan celakanya, politisi pendukung petahana menelan berita itu tanpa dikunyah.
Polemik pemberitaan 212 lebih banyak pada tingkat elit dan para pengamat komunikasi publik. Tapi kesannya, seolah peserta Reuni 212 merengek minta diliput.
Padahal mereka nggak terlalu peduli oleh beberapa media yang sudah masuk dalam black list mereka.
Bahkan sejak ABI 212 tahun 2016 banyak peserta yang membawa tulisan penolakan menyebut Kompas TV dan Metro TV dilarang meliput Reuni 212.
Kekesalan pada 2 media itu karena dianggap selalu menjelek-jelekan aksi 212 sebelumnya. Sebenarnya ada media lain yang mereka tolak.
Lihat juga: Memukul dengan Meminjam Tenaga Lawan oleh Balya Nur
Bahkan mereka punya sebutan khusus. Misalnya, Tempo mereka sebut Tempe. Kompas mereka sebut Kompos. Metro TV mereka sebut Metro Tivu.
Effendi Gazali (EG) dalam acara ILC semalam, bertajuk Pascra Reuni 212, Menakar elektabilitas Capres 2019, dengan agak menantang mengatakan:
“Saya belajar dan mengajar ilmu komunikasi sudah 20 tahun. Tolong tunjukkan, ada nggak guru jurnalistik yang mengatakan, peristiwa sebesar ini ( Reuni 212 ) yang barangkali terbesar di dunia, lalu Anda boleh block sama sekali, menutup hak informasi publik. Dan seakan-akan itu tidak terjadi. Tolong tunjukkan, siapa guru besarnya, siapa pengajarnya, kita diskusikan bersama.“
Kelayakan sebuah berita dimuat atau ditayangkan di HL memang merupakan policy redaksi yang punya hak diskresi.
Redaksi punya hak menilai apakah sebuah berita itu memenuhi syarat seperti yang ditulis oleh jurnalis senior, Hersubeno Arief di bawah judul Bunuh Diri massal Pers Indonesia Jilid II.
“Luasnya pengaruh (magnitude), kedekatan (proximity), aktual (kebaruan), dampak (impact), masalah kemanusiaan (human interest) dan keluarbiasaan (unusualness), adalah rumus baku yang menjadi pegangan para wartawan.”
Bebeberapa syarat dan rukun itu oleh teman saya Jokower mantan jurnalis yang sekarang sibuk mengajar jurnalistik di berbagai tempat berpendapat, Reuni 212 memang memenuhi persyaratan itu semua, kecuali syarat dampak (impact) yang olehnya dimaknai sebagai dampak yang luas untuk kemashlahatan publik, bukan kepentingan satu kelompok saja.
Menurutnya, Reuni 212 tidak punya dampak posotif bagi kemashlahatan public. Hanya terbatas pada satu kelompok saja.”
Tapi Hersubeno Arief tidak sependapat. Dengan agak emosional dia menulis,” Bagi kalangan media peristiwa itu jelas memenuhi semua syarat kelayakan berita. Mau diperdebatkan dari sisi apapun, pakai ilmu jurnalistik apapun, termasuk ilmu jurnalistik akherat, atau luar angkasa (kalau ada), Reuni 212 jelas memenuhi semua syarat. “
Bisa dipahami emosi Hersubeno Arief itu. Kalau tidak punya nilai impact, kenapa hampir semua media mainstream jelang Reuni 212 ramai mendiskusikan, tapi setelah hari H malah bungkam?
Muhammad Izzul Muslimin, mantan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Periode 2007-2010, menulis di Tempo online di bawah judul Save Penyiaran Indonesia, mempertanyakan soal itu.
“Media penyiaran boleh saja berkilah bahwa Reuni Aksi 212 adalah kegiatan yang menurut mereka tidak memiliki nilai jurnalistik yang tinggi sehingga tidak menjadi prioritas untuk diberitakan. Namun kalau alasannya demikian tentu sangat bertentangan dengan berita-berita dan acara debat atau diskusi publik yang mereka selenggarakan sebelumnya. Tentu publik berhak mempertanyakan kebijakan redaksi media penyiaran tersebut.”
Ilham Bintang , Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) periode 2018-2023, menjawab pertanyaan wartakota via WA mengatakan, “ Fakta itu suci. Universal. Dan, informasi itu milik publik. Bukan milik wartawan yang seenaknya dibikin seperti lempung dengan bersembunyi di balik kata’ policy redaksi ‘ belaka. Kaitan wartawan dengan informasi karena kebetulan kita memilih profesi wartawan. Begitu dna- nya.”
Jadi nampaknya kuncinya pada policy redaksi yang punya hak diskresi.
Redaktur juga manusia. Dia punya pilihan politik, punya kebutuhan buat keluarga, punya ketergantungan pada pemilik media.
Soal menilai sebuah berita berimpact pada kemashlahatan kepentingan orang banyak seperti pendapat teman saya mantan redaktur yang Jokower itu nampaknya hanya untuk penghias catatan dalam buku jurnalistik.
Redaktur bebas menafsirkan impact ini sesuai keinginannya atau keinginan pemilik media.
Rocky Gerung pernah bilang, media sekarang ibarat brosur pemerintah. Diulangnya lagi pendapatnya itu di ILC. Dalam kaitannya dengan polemik peliputan aksi 212, dia menuduh pers sengaja menyembunyikan sejarah.
“ Kalau TV One pada waktu itu gensetnya mati, listriknya korslet, maka tidak ada yang memberitakan persitiwa bersejarah itu. Jadi, kalau pers nasional tidak memberitakan itu, itu artinya pers memalsukan sejarah. Karena orang nggak pernah tahu, satu peristiwa, mau dinamakan apa saja persitiwa itu, dengan kumpulan orang sebanyak itu, dengan ketertiban, dengan kepemimpinan intelektual, tapi tidak dimuat oleh pers. Mau disebut apa itu? Bukankah itu disebut penggelapan sejarah oleh pers Indonesia? “ kata RG.
Untuk menguji apakah syarat penafsiran redaktur soal impact untuk kemashlahatan public berdasarkan buku panduan jurnalistik atau lebih pada latar lebakang pilihan politik. Ya, silakan saja cek latar belakang kecenderungan pilihan politik para jurnalis dan pengamat yang argumennya saya kutip di atas.
Pertanyaan berikutnya, TV One satu-satunya media yang menayangkan live Reuni 212 pada breaking news, apakah ada hubungannya dengan kecenderungan pilihan politik? Kalau kata saya sih nggak.
TV One menangguk untung banyak saat menayangkan itu, karena nggak ada saingannya. Makanya nggak heran rating breaking news live reuni 212 menjulang tinggi mencapai angka 7.4%.
Bandingkan dengan tiga televisi berita lain yang ratingnya cuma berkisar di angka satu koma. ILC TV One, selasa 4 Desember yang mengangkat tema Pasca Reuni 212, rating TV One 5.9%, televisi berita lain sekitaran 2 persenan ke bawah.
Tahun 2016, ILC TV One mengangkat tema “ Setelah 411.” Mencapai puncak rating tertinggi, 18.1%, bukan hanya menenggelamkan program televisi berita lain, tapi juga nangkring di urutan ke-4 dari seluruh program televisi hiburan.
Okelah, dari syarat dan rukun jurnalistik hal itu memang soal magnitude ketimbang impact.
Jadi tidak cukup hanya bicara soal ilmu jurnalistik, karena jurnalis adalah menusia yang berada di bawah naungan perusahaan pers.
Mau tidak mau perusahaan pers mempertahankan pembaca atau pemirsa setianya yang telah menghidupinya.
Pembaca atau pemirsa setia terbentuk karena pilihan politik yang dianut oleh media juga.
TV One walaupun majikannya sudah bergabung ke petahana, tapi pemirsa setianya sudah terlanjur mengental, yakni para pendukung Prabowo.
Bunuh diri lah kalau TV One ikutan jadi kaya Metro TV. Masa meninggalkan yang 7 persen dan rebutan 2 persen bersama Metro TV, yang bener aje…
Coba bayangkan jika misalnya Metro TV menayangkan live Reuni 212, apa nggak ngamuk tuh pemirsa setianya?
Sudah ratingnya belum beranjak dari angka 2 persen, bakal ditinggalkan pemirsa setianya pula. Kan sebelumnya, untuk memenuhi dahaga pemirsa setianya, Metro TV menulis di salah satu editorialnya dengan mengatakan, Reuni 212 sebagai perayaan intoleransi.
Atau kalau misalnya Metro TV mengikuti saran Effendi Gozali, tetap menayangkan live 212 tapi mendatangkan nara sumber yang kontra terhadap Reuni 212. Lho, itu kan yang selama ini penyabab Metro TV menjadi musuh alumni 212.
Bagi Metro TV dan televisi lainnya selain TV One, cara yang paling aman agar tetap mempertahankan pemirsa setianya dan tidak menambah “musuh” baru adalah dengan tidak menayangkan Reuni 212.
Toh sebelumnya mereka sudah berupaya membangun opini pagi siang malam agar Reuni 212 sepi pengunjung, tapi ternyata gagal.
Satu hal yang mereka tidak sadari, alumni dan simpatisan 212, semakin dilecehkan malah semakin semangat untuk datang.
Lihat juga: Opini - Menteri Rakyat Awam
Metro TV dalam satu editorialnya mengatakan bahwa Reuni 212 sebagai perayaan intoleransi.
Kalau tadinya calon peserta reuni karena agak demam memutuskan untuk tidak datang, provokasi yang mengkerdilkan 212 malah membuat alumni dan simpatisan 212 melupakan penyakitnya, datang ke reuni.
Dengan kata lain, media yang bungkam saat Reuni 212 tapi berisik jelang Reuni 212 malah membantu semangat juang alumni 212 untuk memutihkan Jakarta. Itu! (fb: Balya Nur).
Bahkan Prabowo mengatakan, awak media yang menutup mata pada peristiwa itu tidak pantas disebut jurnalis. Mungkin saja Prabowo berlebihan.
Tapi itu sebagai akumulasi kekesalannya pada media mainstream yang beberapa kali “mengerjainya.”
Terakhir, pelintiran media atas pidato Prabowo soal Yerusalem. Media luar negeri sudah meralar pelintirannya, media dalam negeri pura-pura nggak merasa bersalah.
Dan celakanya, politisi pendukung petahana menelan berita itu tanpa dikunyah.
Media yang Ngumpet Saat Reuni 212
Polemik pemberitaan 212 lebih banyak pada tingkat elit dan para pengamat komunikasi publik. Tapi kesannya, seolah peserta Reuni 212 merengek minta diliput.
Padahal mereka nggak terlalu peduli oleh beberapa media yang sudah masuk dalam black list mereka.
Bahkan sejak ABI 212 tahun 2016 banyak peserta yang membawa tulisan penolakan menyebut Kompas TV dan Metro TV dilarang meliput Reuni 212.
Kekesalan pada 2 media itu karena dianggap selalu menjelek-jelekan aksi 212 sebelumnya. Sebenarnya ada media lain yang mereka tolak.
Lihat juga: Memukul dengan Meminjam Tenaga Lawan oleh Balya Nur
Bahkan mereka punya sebutan khusus. Misalnya, Tempo mereka sebut Tempe. Kompas mereka sebut Kompos. Metro TV mereka sebut Metro Tivu.
Effendi Gazali (EG) dalam acara ILC semalam, bertajuk Pascra Reuni 212, Menakar elektabilitas Capres 2019, dengan agak menantang mengatakan:
“Saya belajar dan mengajar ilmu komunikasi sudah 20 tahun. Tolong tunjukkan, ada nggak guru jurnalistik yang mengatakan, peristiwa sebesar ini ( Reuni 212 ) yang barangkali terbesar di dunia, lalu Anda boleh block sama sekali, menutup hak informasi publik. Dan seakan-akan itu tidak terjadi. Tolong tunjukkan, siapa guru besarnya, siapa pengajarnya, kita diskusikan bersama.“
Kelayakan sebuah berita dimuat atau ditayangkan di HL memang merupakan policy redaksi yang punya hak diskresi.
Redaksi punya hak menilai apakah sebuah berita itu memenuhi syarat seperti yang ditulis oleh jurnalis senior, Hersubeno Arief di bawah judul Bunuh Diri massal Pers Indonesia Jilid II.
“Luasnya pengaruh (magnitude), kedekatan (proximity), aktual (kebaruan), dampak (impact), masalah kemanusiaan (human interest) dan keluarbiasaan (unusualness), adalah rumus baku yang menjadi pegangan para wartawan.”
Bebeberapa syarat dan rukun itu oleh teman saya Jokower mantan jurnalis yang sekarang sibuk mengajar jurnalistik di berbagai tempat berpendapat, Reuni 212 memang memenuhi persyaratan itu semua, kecuali syarat dampak (impact) yang olehnya dimaknai sebagai dampak yang luas untuk kemashlahatan publik, bukan kepentingan satu kelompok saja.
Menurutnya, Reuni 212 tidak punya dampak posotif bagi kemashlahatan public. Hanya terbatas pada satu kelompok saja.”
Tapi Hersubeno Arief tidak sependapat. Dengan agak emosional dia menulis,” Bagi kalangan media peristiwa itu jelas memenuhi semua syarat kelayakan berita. Mau diperdebatkan dari sisi apapun, pakai ilmu jurnalistik apapun, termasuk ilmu jurnalistik akherat, atau luar angkasa (kalau ada), Reuni 212 jelas memenuhi semua syarat. “
Media yang Berisik Pagi, Siang, Malam Jelang Reuni 212
Bisa dipahami emosi Hersubeno Arief itu. Kalau tidak punya nilai impact, kenapa hampir semua media mainstream jelang Reuni 212 ramai mendiskusikan, tapi setelah hari H malah bungkam?
Muhammad Izzul Muslimin, mantan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Periode 2007-2010, menulis di Tempo online di bawah judul Save Penyiaran Indonesia, mempertanyakan soal itu.
“Media penyiaran boleh saja berkilah bahwa Reuni Aksi 212 adalah kegiatan yang menurut mereka tidak memiliki nilai jurnalistik yang tinggi sehingga tidak menjadi prioritas untuk diberitakan. Namun kalau alasannya demikian tentu sangat bertentangan dengan berita-berita dan acara debat atau diskusi publik yang mereka selenggarakan sebelumnya. Tentu publik berhak mempertanyakan kebijakan redaksi media penyiaran tersebut.”
Ilham Bintang , Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) periode 2018-2023, menjawab pertanyaan wartakota via WA mengatakan, “ Fakta itu suci. Universal. Dan, informasi itu milik publik. Bukan milik wartawan yang seenaknya dibikin seperti lempung dengan bersembunyi di balik kata’ policy redaksi ‘ belaka. Kaitan wartawan dengan informasi karena kebetulan kita memilih profesi wartawan. Begitu dna- nya.”
Jadi nampaknya kuncinya pada policy redaksi yang punya hak diskresi.
Redaktur juga manusia. Dia punya pilihan politik, punya kebutuhan buat keluarga, punya ketergantungan pada pemilik media.
Soal menilai sebuah berita berimpact pada kemashlahatan kepentingan orang banyak seperti pendapat teman saya mantan redaktur yang Jokower itu nampaknya hanya untuk penghias catatan dalam buku jurnalistik.
Redaktur bebas menafsirkan impact ini sesuai keinginannya atau keinginan pemilik media.
Rocky Gerung pernah bilang, media sekarang ibarat brosur pemerintah. Diulangnya lagi pendapatnya itu di ILC. Dalam kaitannya dengan polemik peliputan aksi 212, dia menuduh pers sengaja menyembunyikan sejarah.
“ Kalau TV One pada waktu itu gensetnya mati, listriknya korslet, maka tidak ada yang memberitakan persitiwa bersejarah itu. Jadi, kalau pers nasional tidak memberitakan itu, itu artinya pers memalsukan sejarah. Karena orang nggak pernah tahu, satu peristiwa, mau dinamakan apa saja persitiwa itu, dengan kumpulan orang sebanyak itu, dengan ketertiban, dengan kepemimpinan intelektual, tapi tidak dimuat oleh pers. Mau disebut apa itu? Bukankah itu disebut penggelapan sejarah oleh pers Indonesia? “ kata RG.
Untuk menguji apakah syarat penafsiran redaktur soal impact untuk kemashlahatan public berdasarkan buku panduan jurnalistik atau lebih pada latar lebakang pilihan politik. Ya, silakan saja cek latar belakang kecenderungan pilihan politik para jurnalis dan pengamat yang argumennya saya kutip di atas.
Pertanyaan berikutnya, TV One satu-satunya media yang menayangkan live Reuni 212 pada breaking news, apakah ada hubungannya dengan kecenderungan pilihan politik? Kalau kata saya sih nggak.
TV One menangguk untung banyak saat menayangkan itu, karena nggak ada saingannya. Makanya nggak heran rating breaking news live reuni 212 menjulang tinggi mencapai angka 7.4%.
Bandingkan dengan tiga televisi berita lain yang ratingnya cuma berkisar di angka satu koma. ILC TV One, selasa 4 Desember yang mengangkat tema Pasca Reuni 212, rating TV One 5.9%, televisi berita lain sekitaran 2 persenan ke bawah.
Tahun 2016, ILC TV One mengangkat tema “ Setelah 411.” Mencapai puncak rating tertinggi, 18.1%, bukan hanya menenggelamkan program televisi berita lain, tapi juga nangkring di urutan ke-4 dari seluruh program televisi hiburan.
Okelah, dari syarat dan rukun jurnalistik hal itu memang soal magnitude ketimbang impact.
Jadi tidak cukup hanya bicara soal ilmu jurnalistik, karena jurnalis adalah menusia yang berada di bawah naungan perusahaan pers.
Mau tidak mau perusahaan pers mempertahankan pembaca atau pemirsa setianya yang telah menghidupinya.
Pembaca atau pemirsa setia terbentuk karena pilihan politik yang dianut oleh media juga.
TV One walaupun majikannya sudah bergabung ke petahana, tapi pemirsa setianya sudah terlanjur mengental, yakni para pendukung Prabowo.
Bunuh diri lah kalau TV One ikutan jadi kaya Metro TV. Masa meninggalkan yang 7 persen dan rebutan 2 persen bersama Metro TV, yang bener aje…
Coba bayangkan jika misalnya Metro TV menayangkan live Reuni 212, apa nggak ngamuk tuh pemirsa setianya?
Sudah ratingnya belum beranjak dari angka 2 persen, bakal ditinggalkan pemirsa setianya pula. Kan sebelumnya, untuk memenuhi dahaga pemirsa setianya, Metro TV menulis di salah satu editorialnya dengan mengatakan, Reuni 212 sebagai perayaan intoleransi.
Atau kalau misalnya Metro TV mengikuti saran Effendi Gozali, tetap menayangkan live 212 tapi mendatangkan nara sumber yang kontra terhadap Reuni 212. Lho, itu kan yang selama ini penyabab Metro TV menjadi musuh alumni 212.
Soal Media yang Berisik Jelang Reuni 212, Ngumpet Saat Reuni 212
Bagi Metro TV dan televisi lainnya selain TV One, cara yang paling aman agar tetap mempertahankan pemirsa setianya dan tidak menambah “musuh” baru adalah dengan tidak menayangkan Reuni 212.
Toh sebelumnya mereka sudah berupaya membangun opini pagi siang malam agar Reuni 212 sepi pengunjung, tapi ternyata gagal.
Satu hal yang mereka tidak sadari, alumni dan simpatisan 212, semakin dilecehkan malah semakin semangat untuk datang.
Lihat juga: Opini - Menteri Rakyat Awam
Metro TV dalam satu editorialnya mengatakan bahwa Reuni 212 sebagai perayaan intoleransi.
Kalau tadinya calon peserta reuni karena agak demam memutuskan untuk tidak datang, provokasi yang mengkerdilkan 212 malah membuat alumni dan simpatisan 212 melupakan penyakitnya, datang ke reuni.
Dengan kata lain, media yang bungkam saat Reuni 212 tapi berisik jelang Reuni 212 malah membantu semangat juang alumni 212 untuk memutihkan Jakarta. Itu! (fb: Balya Nur).
TENTANG KAMI : Situs yang didedikasikan sebagai tempat untuk belajar Soal CPNS, Psikotes dan Blogging. Informasi terkini tentang Drakor terbaru, Loker, Lifestyle dan Teknologi. Terus ikuti kami untuk update artikel terbaru, atau ikuti kami di Facebook dan Twitter.
Posting Komentar untuk "Soal Media yang Berisik Pagi Siang Malam Jelang Reuni 212, Tapi Ngumpet Saat Reuni 212 - oleh Babeh Balya Nur"