HIR "Herzien Inlandsch Reglement" - Hukum Perdata
awambicara.id - "Herzien Inlandsch Reglement" disingkat HIR, yang jika diterjemahkan menjadi Reglemen Indonesia yang di Perbaharui, adalah Hukum Acara Perdata dan Pidana yang berlaku khusus untuk pulau Jawa dan Madura.
Pada zaman penjajahan Belanda, aslinya disebut "Reglement op de uitoefening van de politie, de burgerlijke rechtspleging en de strafvordering onder de Inlanders en de Vreemde Oosterlingen op Java en Madura".
Reglemen ini dibuat pada zaman penjajahan Belanda, disebut dengan "Inlandsch Reglement", dan disingkat menjadi I.R."
Pada zaman penjajahan Belanda, aslinya disebut "Reglement op de uitoefening van de politie, de burgerlijke rechtspleging en de strafvordering onder de Inlanders en de Vreemde Oosterlingen op Java en Madura".
Reglemen ini dibuat pada zaman penjajahan Belanda, disebut dengan "Inlandsch Reglement", dan disingkat menjadi I.R."
Isi Reglemen ini diperbaharui dan mendapat penyebutan baru atau nama baru yang disebut dengan dengan Herzien Inlandsch Reglement", disingkat HIR, tertuang dalam Staatsblad 1941 No.44 yang artinya "Reglemen Bumiputera (Indonesia) Yang Dibaharui", disingkat dengan RIB.
HIR "Herzien Inlandsch Reglement"
Dalam Undan-undang Darurat Tahun 1951 pasal 6, No.1 maka HIR atau R.I.B. dinyatakan berlaku sebagai hukum acara pidana sipil di Indonesia dengan beberapa perubahan yang diterangkan dalam undang-undang darurat tersebut.
Sebelum zaman penjajahan dulu, di Indonesia hukum yang berlaku adalah hukum para raja-raja yang berkuasa pada waktu itu, dalam kekuasaannya masing-masing. Akan tetapi, semenjak bangsa Belanda datang menguasai dan menjajah Indonesia, pada zaman VOC, hukum yang berlaku bagi orang-orang Belanda di pusat dagang VOC adalah hukum kapal yang berupa hukum Belanda kuno ditambah dengan asas-asas hukum Romawi.
Akan tetapi karena perkembangan zaman, hukum kapal itu perlahan-lahan tidak dapat lagi menyelesaikan peristiwa-peristiwa dan perkara-perkara yang terjadi di pusat-pusat perdagatan saat itu. Maka kemudian Belanda membuat peraturan-peraturan baru dan diumumkan dalam bentuk plakat-plakat, kemudian dihimpun dan menjadi satu dan dinamakan "Statuta Betawi" yang pertama kali berlaku di "Bataviase Ommenlanden" yakni Betawi dan Daerah-daerah sekitarnya. Bataviase Ommenlanden, atau Betawi dan Daerah-daerah sekitarnya, yakni daerah yang batasnya di sebelah Barat, yakni Sungai Cisadane, di sebelah Utara Pulau-pulau Teluk Betawi, di sebelah Timur Sungai Citarum dan di sebelah Selatan, Samudera Indonesia.
Plakat-plakat itu berlaku bagi semua suku bangsa yang berada di tempat itu, namun demikian, dalam prakteknya ternyata hanya digunakan bagi bangsa Belanda saja, sedangkan untuk bangsa Timur Asing dan Peribumi tetap berlaku hukum adat.
Di beberapa daerah lainnya para penguasa VOC mencoba untuk menghimpun berbagai peraturan-peraturan tersebut menjadi undang-undang atau kodipikasi dari hukum adat untuk mengadili mereka yang tunduk pada hukum adat itu sendiri, contohnya :
1. Kodipikasi Hukum Adat Cina oleh pusat V.O.C., berlaku bagi orang-orang Cina di Betawi dan sekitarnya.
2. Kodipikasi Pepakem Cirebon oleh kuasa V.O.C. di Cirebon, dimaksudkan berlaku bagi penduduk Bumiputera di Cirebon dan sekitarnya.
3. Kodipikasi Kitab Hukum Mogharraer oleh penguasa V.O.C. di Semarang dan daerahnya.
4. Kodipikasi Hukum Bumiputera Boni dan Goa oleh penguasa V.O.C. di tempat itu berlaku bagi penduduk Bumiputera di Goa dan Boni.
Untuk waktu yang lama keadaan perubahan-perubahan yang terjadi dalam perundang-undangan di Indonesia tidaklah banyak terjadi. Perubahan yang dinilai penting adalah terjadi pada tahun 1848, dikarenakan pada waktu itu mulai berlaku apa yang biasa disebut oleh Belanda: "Perundang-undangan baru". Sejak itu kekuatan hukum Belanda Kuno dan Hukum Romawi hapus dan tidak berlaku lagi.
Peraturan Perundang-undangan yang baru itu adalah akibat dari pada perubahan-perubahan perundang-undangan di Negara Belanda dalam tahun 1838 yang menghapuskan hukum kerajaan Perancis setelah Negeri Belanda memperoleh kembali kemerdekaannya.
Keputusan Raja Belanda tanggal 6 Mei 1846 No.1 dalam pasal 4 memerintahkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk membuat suatu peraturan tata-usaha kepolisian bagi Hindia Belanda, beserta dengan pengadilan sipil dan penuntutan perkara kriminal mengenai golongan Bumiputera dan orang-orang yang dipersamakan kepada mereka.
Guna membantu Gubernur-Jenderal pada saat itu, khusus hanya demi keperluan dalam menyelesaikan perintah Raja untuk membuat suatu peraturan tata usaha kepolisian bagi Hinda Belanda, Raja Belanda mengirimkan utusan seorang yang ahli yang bernama Jhr. Mr. Wichers dari Negeri Belanda ke Hindia Belanda. Atas jasanya, rancangan undang-undang baru itu selesai dikerjakan, dan diterima oleh Gubernur-Jenderal serta diumumkan pada tanggal 5 April 1848 (Staatsblad tahun 1848 No.16) dengan judul "Reglement op de uitoefening van de politie, de burgerlijke rechtspleging en de strafvordering onder de Inlanders en de Vreemde Oosterlingen op Java en Madura" disebut "Inlandsch Reglement" atau disingkatkan lagi I.R. Kemudian "Inlandsch Reglement" ini dikuatkan dengan Keputusan Raja tanggal 29 September 1849 No.93 (Staatsblad tahun 1849 No.63).
Dalam perkembangannya, "Inlandsch Reglement" atau IR telah mengalami beberapa kali perubahan. Dan mencatat perubahan-perubahan yang paling penting yakni termuat didalam :
1. Staatsblad tahun 1941 No.31 jo No.98, yakni perihal perbaharuan peraturan penuntutan terhadap orang-orang yang bukan bangsa Eropa.
2. Staatsblad tahun 1941 No.32 jo No.98, yakni pembaharuan peraturan tentang pemeriksaan pendahuluan di dalam perkara-perkara kriminal terhadap orang-orang Indonesia dan Timur Asing, diantarany, enam buah titel yang pertama diganti dengan dua buah titel baru, kemudian isi seluruh dari "Inlandsch Reglement" atau IR itu diumumkan kembali dalam Staatsblad tahun 1941 No. 44.
"Inlandsch Reglement" atau IR yang. telah dibaharui itu kemudian disebut "Herzien. Inlandsch Reglement" atau HIR dalam bahasa Indonesia Reglemen Indonesia yang diperbaharui, disingkat RIB. "Herzien. Inlandsch Reglement" HIR atau RIB sementara hanya diberlakukan dalam wilayah-wilayah hukum beberapa Landraad yang ditunjuk oleh Gubernur-Jenderal.
Perbedaan penting antara "Inlandsch Reglement" atau I.R. dan "Herzien. Inlandsch Reglement" atau H.I.R. adalah adanya "Openbaar Ministerie" atau Kejaksaan yang merupakan Penuntut Umum. Anggota-anggota Kejaksaan itu terdiri dari para Jaksa yang dulu ditempatkan di bawah Pamong-Praja, sekarang langsung berada di bawah Jaksa Tinggi dan Jaksa Agung. Yang berarti kedudukan Jaksa menurut "Inlandsch Reglement" atau I.R. dan "Herzien. Inlandsch Reglement" atau H.I.R. sangat jauh berbeda. Dalam "Inlandsch Reglement" atau I.R. didalam prakteknya, kedudukan para Jaksa itu sedemikian rupanya, sehingga:
a. Tidak berwenang untuk menuntut perkara, yang boleh mengadakan tuntutan hanya Assistent-Resident (Pamong-Praja), yakni kepalanya;
b. Didalam sidang pengadilan tidak mempunyai wewenang untuk membuat requsitoir (mintakan pidana), akan tetapi hanya dapat memajukan perasaannya atau pertimbangannya saja (pasal 292 I.R.).
c. Tidak mempunyai wewenang untuk menjalankan suatu putusan pengadilan (eksekusi). Yang mempunyai wewenang demikian itu adalah Assistent-Resident (pasal 325 I.R. ).
d. Menurut pasal 57 I.R. Jaksa itu juga berada dibawah perintah Bupati (Pamong-Praia), dengan demikian maka Jaksa bukan merupakan Penuntut Umum.
Pada zaman pendudukan, penjajahan Jepang, H.I.R. berlaku sebagai hukum acara pidana bagi Pengadilan Negeri seluruhnya, karena itu, kedudukan para Jaksa memperoleh perubahan secara besar-besaran, karena pada waktu itu para Assistent-Resident yang menjadi "majikan" para Jaksa sekaligus dihapuskan. Semua tugas pekerjaan Asisstent-Resident mengenai penuntutan perkara pidana seluruhnya diserahkan kepada Jaksa. Pada waktu itu berpangkat "Tiho Kensatsu Kijokuco". (Kepala Kejaksaan Pengadilan Negeri), berada di bawah perintah dan pengawasan "Kootoo Kensatsu Kijokuco" (Kepala Kejaksaan Tinggi).
Sejak saat itu para Jaksa' benar-benar menjadi Pegawai Penuntut Umum (Openbaar Ministerie). Kemudian dipertegas lagi dengan "Osamu Seirei No.49" Kejaksaan dimasukkan ke dalam "Chianbu" atau Departemen Keamanan, yang mempunyai tugas sebagai pegawai penyidik, pegawai penuntut serta menjalankan keputusan hakim (eksekusi).
Pada zaman Pemerintah Republik Indonesia dengan maklumat tanggal 1 Oktober 1945 semua kantor Kejaksaan yang dulunya masuk "Chianbu" atau Departemen Keamanan, dipindahkan ke dalam "Shihoobu" atau Departemen Kehakiman. Tugas dan kewajiban para Jaksa yang telah diberikan kepadanya sejak zaman Jepang, tidak berubah. Didalam Peraturan Pemerintah tanggal 10 Oktober 1945 No.2 menetapkan bahwa semua undang-undang dan peraturan-peraturan yang dulu yakni undang-undang Jepang dan undang-undang Hindia Belanda tetap berlaku sampai undang-undang itu diganti baru.
Sejak proklamasi kemerdekaan, oleh karena menurut H.I.R. pekerjaan "Openbaar Ministerie" pada tiap-tiap Pengadilan Negeri dijalankan oleh "Magistraat", maka dengan sendirinya perkataan-perkataan "Magistraat" dalam H.I.R. diganti dengan Jaksa, sehingga Jaksa pada waktu itu adalah benar-benar Penuntut Umum pada Pengadilan Negeri.
Dan pada waktu sekarang ini status serta tugas Jaksa sebagai Pegawai Penuntut Umum dengan tegas ditentukan dalam pasal dua Undang-undang tahun .1961 No.15 (Undang-Undang Pokok Kejaksaan).
Demikianlah riwayat singkat H.I.R. atau R.I.B, semoga bermanfaat.
Jika artikel ini bermanfaat dan menarik, jangan sungkan untuk dishare, dengan mengklik tombol share di media sosial dibawah ini. Terimakasih.
TENTANG KAMI : Situs yang didedikasikan sebagai tempat untuk belajar Soal CPNS, Psikotes dan Blogging. Informasi terkini tentang Drakor terbaru, Loker, Lifestyle dan Teknologi. Terus ikuti kami untuk update artikel terbaru, atau ikuti kami di Facebook dan Twitter.
Posting Komentar untuk "HIR "Herzien Inlandsch Reglement" - Hukum Perdata"