Ancaman Pidana Pelaku Penghinaan, Penistaan atau Memfitnah Orang Lain di Indonesia
Pasal 310 KUHP - Ada pepatah menyebutkan “Mulutmu harimaumu”, ada lagi yang menyebutkan “lidah lebih tajam daripada pedang”.
Pepatah itu suka atau tidak suka masih relevan dengan kondisi sekarang ini.
Banyak sekali ditemukan kasus di berbagai Pengadilan seseorang dihukum hanya karena orang tersebut menghina orang lain maupun memfitnah orang lain baik secara lisan maupun tulisan-pasal 310 kuhp.
Apalagi dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat termasuk perkembangan media sosial, baik itu Facebook, WhastApp, Instagram, Twitter, YouTube, Line dan masih banyak lagi yang lainnya.
Teknologi Informasi media sosial yang sedemikian pesat hendaknya digunakan sebijaksana mungkin apalagi sebagian masyarakat awam kita masih “pemula” dalam menggunakan media sosial, karena media sosial cenderung disalahgunakan.
Baca: Pelaku Tindak Pidana Namun Tidak di Pidana
Sebagai contoh kasusnya adalah Muhammad Arsyad seorang PNS asal Makassar.
Dalam pemilihan Walikota Makassar tahun 2013 adik dari Nurdin Halid yaitu Kadir Halid merupakan salah satu yang ikut mencalonkan berpasangan dengan Supomo.
Muhammad Arsyad menyampaikan ketidaksukaannya terhadap pencalonan Kadir Halid, Muhammad Arsyad kemudian menuliskan ”No Fear ancaman Nurdin Halid Koruptor!!!! Jangan pilih adik koruptor!!! Pada status Blackberry Messenger (BBM) milik Arsyad.
Status tersebut berbuntut Penetapan dirinya sebagai Tersangka.
Adalagi kasus Florence Sihombing seorang mahasiswi Kenotariatan UGM yang membuat status di jejaring sosial Path yang dinilai menghina warga Yogyakarta dengan membuat status:
“Jogja miskin, tolol, miskin dan tak berbudaya, teman-teman Jakarta, Bandung jangan mau tinggal di Jogja”;
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti telah megeluarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/ 06/ X/ 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech), Surat edaran itu diberlakukan 8 Oktober 2015.
Untuk mencegah terjadinya konflik di masyarakat seperti pelaku penyebar kebencian, pelaku penyebar berita bohong, pencemaran nama baik, penghinaan dan memfitnah orang lain atau kelompok tertentu serta melindungi anggota Polisi dalam menegakkan hukum bagi pelaku penebar kebencian.
Baca: Pengertian Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum
Berdasarkan situs kabarmakkah.com bahwa Polri saat ini sedang memburu 180.000 akun facebook penyebar kebencian dan fitnah;
Penghinaan termasuk ke dalam penyerangan terhadap kehormatan/ marwah seorang manusia.
Cukup sulit untuk mendapatkan batasan atau definisi dari penghinaan yang bisa diterima secara luas baik oleh masyarakat maupun kalangan akademisi apalagi praktisi hukum.
Karena pada dasarnya penghinaan adalah tindakan seseorang (subyek hukum) terhadap orang lain (subyek hukum) lainnya dengan cara yang subyektif dan bersifat subjektif pula.
Artinya dengan sebuah tindakan yang sama bisa saja seseorang tersinggung sedangkan seorang yang lain bersikap biasa-biasa saja.
Pada dasarnya tindak penghinaan adalah sebuah tindakan atau sikap yang sengaja melanggar nama baik atau menyerang kehormatan seseorang (beleiding is op te vatten als:het opzettelijk aanranden van iemands eer of geode naam. J.M. v. Bemmelen-W.F.C. v. Hattum, 1954, hal 488; D.Simon-W.P.J.Pompe.II,1941,hal.55).
Sebagaimana halnya ketentuan dalam Pasal 310 KUHP, defamation dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan.
Juga dirumuskan jika penghinaan berkenaan dengan kepentingan umum (public concern) maka Penggugat harus membuktikan baik ketidakbenaran pernyataan tersebut maupun kesalahan tergugat.
Dalam tradisi Common Law System penghinaan dapat dikonstruksikan baik dalam aspek pidana maupun perdata atau perbuatan melawan hukum (tort).
Yang kalau di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer/ BW) dan Pasal 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer/ BW).
Tetapi kecenderungan mengarahkan penghinaan pada peradilan pidana agak memudar, yang lebih disukai masyarakat dalam tradisi anglo saxon adalah gugatan perdata/perbuatan melawan hukum.
Adalah sangat penting untuk mendapatkan batasan yang meskipun tidak sepenuhnya bisa diterima oleh semua kalangan tetapi setidaknya bisa dijadikan sebagai patokan atau rujukan dalam beracara di Pengadilan.
Salah satu pendapat yang patut dicermati adalah bahwa suatu kehormatan manusia diserang atau dihina dalam aspek sopan santun atau kesusilaan (Zedelijke waarde).
Bicara hal ini menurut penulis aspek sopan santun atau kesusilaan sangat tergantung pada budaya atau kebiasaan dalam masyarakat awam serta tingkat kedekatan personal antar pihak yang terkait.
Baca: Ne Bis In Idem
Jadi unsur budaya lokal serta kearifan lokal cukup menentukan untuk bisa menyatakan suatu perbuatan termasuk penyerangan terhadap kehormatan manusia atau tidak.
Misalnya kalau Penulis bisa memberikan contoh bahwa kalau orang-orang Amerika dan Eropa ketika berjemur dipantai dengan menggunakan bikini maka itu hal yang biasa bagi mereka dan itu sopan .
Kalau kita di Indonesia berpakaian seperti itu tidak sopan, begitu juga dengan pakaian wanita orang India yang menampakkan pusarnya adalah sopan bagi mereka tetapi bagi kita itu juga tidak sopan begitu juga sama halnya dengan penyerangan terhadap kehormatan manusia atau tidak;
Didalam hukum positif Indonesia - Sistem Hukum di Indonesia, Kejahatan penghinaan oleh Adami Chazawi dibedakan menjadi:
Sebaliknya penghinaan khusus, objek penghinaan adalah rasa/perasaan harga diri atau martabat mengenai kehormatan dan nama baik yang bersifat komunal atau kelompok.
Ada tujuh macam Penghinaan yang masuk didalam kelompok Penghinaan Umum, Namun disini Penulis hanya membahas mengenai Penghinaan Umum yang dikualifisir dalam Pasal 310 ayat 1 KUHP, Pasal 310 ayat 2 (KUHP) serta Pasal 311 KUHP tentang Fitnah:
Perbuatan menyerang (aanranden), tidaklah bersifat fisik, karena terhadap apa yang diserang (objeknya) memang bukan fisik tapi perasaan mengenai kehormatan dan perasaan mengenai nama baik orang.
Baca: UU Perlindungan Anak dan Beberapa Perubahannya
Objek yang diserang adalah rasa/perasaan harga diri mengenai kehormatan (eer), dan rasa/perasaan harga diri mengenai nama baik (goedennaam) orang.
Rasa harga diri adalah intinya objek dari setiap penghinaan, yang menurut Wirjono Projodikoro adalah menjadikan ukuran dari penghinaan.
Rasa harga diri dalam penghinaan adalah rasa harga diri dibidang kehormatan, dan rasa harga diri di bidang nama baik.
Jadi yang dituduhkan si pembuat haruslah merupakan perbuatan tertentu, dan bukan hal lain misalnya menyebut seseorang dengan kata-kata yang tidak sopan, seperti bodoh, malas, anjing kurapan dan lain sebagainya (karena ini bentuk kata sifat bukan perbuatan) dan penghinaan itu supaya diketahui oleh umum artinya ada orang yang mengetahui perbuatan tersebut dilakukan misalnya si A menghina si B didepan si C atau si D
Unsur-unsur di atas yang secara kumulatif mengandung sifat yang memberatkan pidana si pembuat.
Sifat pencemaran melalui benda ttulisan dinilai oleh pembentuk undang-undang sebagai faktor memperberat.
Karena dari benda tulisan, isi perbuatan yang dituduhkan yang sifatnya mencemarkan, dapat meluas sedemikian rupa dan dalam jangka waktu yang lama (selama tulisan itu ada dan tidak dimusnahkan).
Sifat yang demikian amat berbeda dengan sifat pencemaran secara lisan. Oleh sebab itu wajar saja pencemaran dengan tulisan ini dipidana yang lebih berat dari pada pencemaran lisan.
Pencemaran dilakukan dengan menggunakan “tulisan dan gambar”.
Tulisan adalah hasil dari pekerjaan menulis baik dengan tangan maupun alat apapun yang wujudnya berupa rangkaian kata-kata/ kalimat dalam bahasa apapun yang isinya mengandung arti tertentu (in casu menyerang kehormatan dan nama baik orang), diatas sebuah kertas atau benda lainnya yang sifatnya dapat ditulisi (misalnya: kertas, papan, kain dll).
Sedangkan gambar atau gambaran atau lukisan adalah tiruan dari benda yang dibuat dengan coretan tangan melalui alat tulisan: pensil, kuas dan, dengan alat apapun di atas kertas atau benda lainnya yang sifatnya dapat digambari/ditulisi.
Baca: Pengertian Bantuan Hukum
Gambar ini harus mengandung suatu makna yang sifatnya mencemarkan nama baik atau kehormatan orang tertentu (yang dituju).
Adapun dengan cara yang dilakukan yakni disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan secara terbuka.
Disiarkan (verspreiden), maksudnya ialah bahwa tulisan atau gambar tersebut dibuat dalam jumlah yang cukup banyak, dapat dicetak atau di fotokopi yang kemudian disebarkan dengan cara apapun.
Misalnya diperjualbelikan, dikirim ke berbagai pihak, atau dibagi-bagikan kepada siapapun (umum).
Oleh sebab itu verspreiden dapat pula diterjemahkan dengan kata menyebarkan.
Dalam cara menyebarkan sekian banyak tulisan atau gambar kepada khalayak ramai, telah nampak maksud si penyebar agar isi tulisan atau makna dalam gambar yang disiarkan, yang sifatnya penghinaan diketahui umum.
Dipertunjukkan (ten toon gesteld) adalah memperlihatkan tulisan atau gambar yang isi atau maknanya menghina tadi kepda umum, sehingga orang banyak mengetahuinya.
Menunjukkan bisa terjadi secara langsung.
Pada saat menunjukkan pada umum ketika itu banyak orang, tetapi bisa juga secara tidak langsung.
Misalnya memasang spanduk yang isinya bersifat menghina di atas sebuah jalan raya, dilakukan pada saat malam hari yang ketika itu tidak ada seorangpun yang melihatnya.
Sedangkan ditempelkan (aanslaan), maksudnya ialah tulisan atau gambar tersebut ditempelkan pada benda lain yang sifatnya dapat ditempeli, misalnya papan, dinding gedung, pohon dan sebagainya.
Pasal 311 KUHP ini disebut juga Fitnah, misalnya:
Si A mengatakan kepada si B bahwa si B adalah seorang Penjaja Seks Komersil (PSK) didepan si C atau si D, si A dapat dihukum telah melakukan fitnah apabila si A tidak bisa membuktikan kepada Hakim bahwa si B adalah seorang PSK namun apabila si A bisa membuktikan kepada Hakim bahwa si B adalah seorang PSK maka si A tidak bisa dikatakan sebagai fitnah;
Baca: Pengertian Mengenai Putusan Pengadilan
Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini juga termuat unsur “yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” sebagaimana yang termuat juga didalam Pasal 310 ayat 1 dan 2 KUHP, sebagaimana yang telah Penulis uraikan diatas.
Hanya saja yang berbeda adalah cara mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang berarti kaitannya dengan elektronik.
Sedangkan ayat 2 menyatakan “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal, 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”;
Perbedaan perbuatan menghina, menista atau memfitnah dengan mengkritik orang lain atau mengemukakan pendapat;
Pasal 28F UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”
Ada perbedaan yang prinsip antara perbuatan menghina, menista atau memfitnah dengan mengkritik orang lain atau mengemukakan pendapat baik di media sosial atau dimuka umum;
Kritik adalah segala bentuk opini mengenai suatu perbuatan yang dirasakan kurang tepat oleh pemikiran pihak lain.
Ada kritik konstruktif dan ada kritik destruktif.
Contoh kritik konstruktif: “Maaf ada baiknya membuang sampah jangan sembarangan, silahkan membuang sampah pada tempatnya, ini saya ada tempat sampah” ini contoh kritik yang sempurna karena ada solusi didalamnya.
Coba bandingkan dengan kalimat ini “hei..jangan buang sampah sembarangan, seperti anjing saja, percuma sekolah tinggi-tinggi tapi kelakuan seperti anjing” ini adalah contoh kalimat kritik destruktif sekaligus memuat kata-kata penghinaan;
Prof. Andi Hamzah mengilustrasikan yaitu bila dirinya mengatakan kepada seseorang “lebih baik kamu pakai baju yang lain yang lebih bagus” berarti kritik.
Tetapi kalau dirinya mengatakan “anda ini cantik sekali, persis monyet di Ragunan” hal itu berarti penghinaan, tergantung kata-katanya dan apa yang diucapkan satu persatu;
Prof. J.E Sahetapy mengatakan kritik atau mengemukakan pendapat sangat dibolehkan apalagi demi kepentingan umum namun membutuhkan perhitungan dengan memperhatikan kultur (budaya);
Dari pendapat tersebut diatas bahwa, perbedaan menghina atau mengkritik tergantung kata-katanya dan apa yang diucapkan satu persatu, dan mengemukakan pendapat boleh-boleh saja karena dijamin oleh UUD 1945 namun harus tetap memperhatikan kultur (budaya) masyarakat Indonesia baik itu norma kepatutan maupun kesusilaan;
Selain itu pula dalam bicara dan mengemukakan pendapat hendaknya tetap memperhatikan ketentuan Pasal 28J ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
Ayat (1): “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”,
Ayat (2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”;
Baca: Pendekatan Restorative Justice
Kesimpulan
Bahwa kita sebagai manusia hendaknya menjaga perbuatan dan bicara kita, baik itu lisan maupun tulisan, harus menjunjung tinggi kesopanan.
Baik dalam mengkritik maupun mengemukakan pendapat.
Bukankah kita dikatakan manusia yang adil dan beradab sebagaimana dalam sila ke 2 Pancasila, yang berbunyi Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Jangan sampai karena kita emosi atau kesal kita mudah mengeluarkan kata-kata/ tulisan kotor, kata-kata/ tulisan yang tidak sopan sehingga menyakiti perasaan orang lain.
Selain itu kita hendaknya sebijaksana mungkin dalam menggunakan media sosial, bijaksana dan cerdas dalam membuat pernyataan ataupun memposting gambar di media sosial karena ancaman pidana yang tinggi sebagaimana dalam UU ITE.
Cukuplah Kasus Muhammad Arsyad dan Florence Sihombing menjadi pelajaran bagi kita semua. (RizalF)
Pepatah itu suka atau tidak suka masih relevan dengan kondisi sekarang ini.
Banyak sekali ditemukan kasus di berbagai Pengadilan seseorang dihukum hanya karena orang tersebut menghina orang lain maupun memfitnah orang lain baik secara lisan maupun tulisan-pasal 310 kuhp.
Apalagi dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat termasuk perkembangan media sosial, baik itu Facebook, WhastApp, Instagram, Twitter, YouTube, Line dan masih banyak lagi yang lainnya.
Teknologi Informasi media sosial yang sedemikian pesat hendaknya digunakan sebijaksana mungkin apalagi sebagian masyarakat awam kita masih “pemula” dalam menggunakan media sosial, karena media sosial cenderung disalahgunakan.
Baca: Pelaku Tindak Pidana Namun Tidak di Pidana
Ancaman Pidana Bagi Pelaku Penghinaan, Penistaan, atau Memfitnah Orang Lain Menurut Hukum yang Berlaku di Indonesia
Salah satunya yang paling aktual adalah media untuk menghina, memfitnah, memposting sesuatu yang memuat penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik atau menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/ atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA);Sebagai contoh kasusnya adalah Muhammad Arsyad seorang PNS asal Makassar.
Dalam pemilihan Walikota Makassar tahun 2013 adik dari Nurdin Halid yaitu Kadir Halid merupakan salah satu yang ikut mencalonkan berpasangan dengan Supomo.
Muhammad Arsyad menyampaikan ketidaksukaannya terhadap pencalonan Kadir Halid, Muhammad Arsyad kemudian menuliskan ”No Fear ancaman Nurdin Halid Koruptor!!!! Jangan pilih adik koruptor!!! Pada status Blackberry Messenger (BBM) milik Arsyad.
Status tersebut berbuntut Penetapan dirinya sebagai Tersangka.
Adalagi kasus Florence Sihombing seorang mahasiswi Kenotariatan UGM yang membuat status di jejaring sosial Path yang dinilai menghina warga Yogyakarta dengan membuat status:
“Jogja miskin, tolol, miskin dan tak berbudaya, teman-teman Jakarta, Bandung jangan mau tinggal di Jogja”;
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti telah megeluarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/ 06/ X/ 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech), Surat edaran itu diberlakukan 8 Oktober 2015.
Untuk mencegah terjadinya konflik di masyarakat seperti pelaku penyebar kebencian, pelaku penyebar berita bohong, pencemaran nama baik, penghinaan dan memfitnah orang lain atau kelompok tertentu serta melindungi anggota Polisi dalam menegakkan hukum bagi pelaku penebar kebencian.
Baca: Pengertian Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum
Berdasarkan situs kabarmakkah.com bahwa Polri saat ini sedang memburu 180.000 akun facebook penyebar kebencian dan fitnah;
Penghinaan termasuk ke dalam penyerangan terhadap kehormatan/ marwah seorang manusia.
Cukup sulit untuk mendapatkan batasan atau definisi dari penghinaan yang bisa diterima secara luas baik oleh masyarakat maupun kalangan akademisi apalagi praktisi hukum.
Karena pada dasarnya penghinaan adalah tindakan seseorang (subyek hukum) terhadap orang lain (subyek hukum) lainnya dengan cara yang subyektif dan bersifat subjektif pula.
Artinya dengan sebuah tindakan yang sama bisa saja seseorang tersinggung sedangkan seorang yang lain bersikap biasa-biasa saja.
Pada dasarnya tindak penghinaan adalah sebuah tindakan atau sikap yang sengaja melanggar nama baik atau menyerang kehormatan seseorang (beleiding is op te vatten als:het opzettelijk aanranden van iemands eer of geode naam. J.M. v. Bemmelen-W.F.C. v. Hattum, 1954, hal 488; D.Simon-W.P.J.Pompe.II,1941,hal.55).
Sebagaimana halnya ketentuan dalam Pasal 310 KUHP, defamation dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan.
Juga dirumuskan jika penghinaan berkenaan dengan kepentingan umum (public concern) maka Penggugat harus membuktikan baik ketidakbenaran pernyataan tersebut maupun kesalahan tergugat.
Dalam tradisi Common Law System penghinaan dapat dikonstruksikan baik dalam aspek pidana maupun perdata atau perbuatan melawan hukum (tort).
Yang kalau di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer/ BW) dan Pasal 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer/ BW).
Tetapi kecenderungan mengarahkan penghinaan pada peradilan pidana agak memudar, yang lebih disukai masyarakat dalam tradisi anglo saxon adalah gugatan perdata/perbuatan melawan hukum.
Adalah sangat penting untuk mendapatkan batasan yang meskipun tidak sepenuhnya bisa diterima oleh semua kalangan tetapi setidaknya bisa dijadikan sebagai patokan atau rujukan dalam beracara di Pengadilan.
Salah satu pendapat yang patut dicermati adalah bahwa suatu kehormatan manusia diserang atau dihina dalam aspek sopan santun atau kesusilaan (Zedelijke waarde).
Bicara hal ini menurut penulis aspek sopan santun atau kesusilaan sangat tergantung pada budaya atau kebiasaan dalam masyarakat awam serta tingkat kedekatan personal antar pihak yang terkait.
Baca: Ne Bis In Idem
Jadi unsur budaya lokal serta kearifan lokal cukup menentukan untuk bisa menyatakan suatu perbuatan termasuk penyerangan terhadap kehormatan manusia atau tidak.
Misalnya kalau Penulis bisa memberikan contoh bahwa kalau orang-orang Amerika dan Eropa ketika berjemur dipantai dengan menggunakan bikini maka itu hal yang biasa bagi mereka dan itu sopan .
Kalau kita di Indonesia berpakaian seperti itu tidak sopan, begitu juga dengan pakaian wanita orang India yang menampakkan pusarnya adalah sopan bagi mereka tetapi bagi kita itu juga tidak sopan begitu juga sama halnya dengan penyerangan terhadap kehormatan manusia atau tidak;
Ancaman Pidana Penghinaan dalam KUHP
Perbuatan Penghinaan, Menista atau Memfitnah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) dan ancaman pidananya.Didalam hukum positif Indonesia - Sistem Hukum di Indonesia, Kejahatan penghinaan oleh Adami Chazawi dibedakan menjadi:
- Penghinaan umum (diatur dalam bab XVI buku II KUHP)
- Penghinaan khusus (tersebar diluar bab XVI buku II KUHP).
Sebaliknya penghinaan khusus, objek penghinaan adalah rasa/perasaan harga diri atau martabat mengenai kehormatan dan nama baik yang bersifat komunal atau kelompok.
Ada tujuh macam Penghinaan yang masuk didalam kelompok Penghinaan Umum, Namun disini Penulis hanya membahas mengenai Penghinaan Umum yang dikualifisir dalam Pasal 310 ayat 1 KUHP, Pasal 310 ayat 2 (KUHP) serta Pasal 311 KUHP tentang Fitnah:
A. Pasal 310 ayat (1) KUHP
Menyatakan: “Barangsiapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu perbuatan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-”.Perbuatan menyerang (aanranden), tidaklah bersifat fisik, karena terhadap apa yang diserang (objeknya) memang bukan fisik tapi perasaan mengenai kehormatan dan perasaan mengenai nama baik orang.
Baca: UU Perlindungan Anak dan Beberapa Perubahannya
Objek yang diserang adalah rasa/perasaan harga diri mengenai kehormatan (eer), dan rasa/perasaan harga diri mengenai nama baik (goedennaam) orang.
Rasa harga diri adalah intinya objek dari setiap penghinaan, yang menurut Wirjono Projodikoro adalah menjadikan ukuran dari penghinaan.
Rasa harga diri dalam penghinaan adalah rasa harga diri dibidang kehormatan, dan rasa harga diri di bidang nama baik.
Jadi yang dituduhkan si pembuat haruslah merupakan perbuatan tertentu, dan bukan hal lain misalnya menyebut seseorang dengan kata-kata yang tidak sopan, seperti bodoh, malas, anjing kurapan dan lain sebagainya (karena ini bentuk kata sifat bukan perbuatan) dan penghinaan itu supaya diketahui oleh umum artinya ada orang yang mengetahui perbuatan tersebut dilakukan misalnya si A menghina si B didepan si C atau si D
B. Pasal 310 ayat (2) KUHP
Menyatakan: “Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempel secara terbuka, diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”Unsur-unsur di atas yang secara kumulatif mengandung sifat yang memberatkan pidana si pembuat.
Sifat pencemaran melalui benda ttulisan dinilai oleh pembentuk undang-undang sebagai faktor memperberat.
Karena dari benda tulisan, isi perbuatan yang dituduhkan yang sifatnya mencemarkan, dapat meluas sedemikian rupa dan dalam jangka waktu yang lama (selama tulisan itu ada dan tidak dimusnahkan).
Sifat yang demikian amat berbeda dengan sifat pencemaran secara lisan. Oleh sebab itu wajar saja pencemaran dengan tulisan ini dipidana yang lebih berat dari pada pencemaran lisan.
Pencemaran dilakukan dengan menggunakan “tulisan dan gambar”.
Tulisan adalah hasil dari pekerjaan menulis baik dengan tangan maupun alat apapun yang wujudnya berupa rangkaian kata-kata/ kalimat dalam bahasa apapun yang isinya mengandung arti tertentu (in casu menyerang kehormatan dan nama baik orang), diatas sebuah kertas atau benda lainnya yang sifatnya dapat ditulisi (misalnya: kertas, papan, kain dll).
Sedangkan gambar atau gambaran atau lukisan adalah tiruan dari benda yang dibuat dengan coretan tangan melalui alat tulisan: pensil, kuas dan, dengan alat apapun di atas kertas atau benda lainnya yang sifatnya dapat digambari/ditulisi.
Baca: Pengertian Bantuan Hukum
Gambar ini harus mengandung suatu makna yang sifatnya mencemarkan nama baik atau kehormatan orang tertentu (yang dituju).
Adapun dengan cara yang dilakukan yakni disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan secara terbuka.
Disiarkan (verspreiden), maksudnya ialah bahwa tulisan atau gambar tersebut dibuat dalam jumlah yang cukup banyak, dapat dicetak atau di fotokopi yang kemudian disebarkan dengan cara apapun.
Misalnya diperjualbelikan, dikirim ke berbagai pihak, atau dibagi-bagikan kepada siapapun (umum).
Oleh sebab itu verspreiden dapat pula diterjemahkan dengan kata menyebarkan.
Dalam cara menyebarkan sekian banyak tulisan atau gambar kepada khalayak ramai, telah nampak maksud si penyebar agar isi tulisan atau makna dalam gambar yang disiarkan, yang sifatnya penghinaan diketahui umum.
Dipertunjukkan (ten toon gesteld) adalah memperlihatkan tulisan atau gambar yang isi atau maknanya menghina tadi kepda umum, sehingga orang banyak mengetahuinya.
Menunjukkan bisa terjadi secara langsung.
Pada saat menunjukkan pada umum ketika itu banyak orang, tetapi bisa juga secara tidak langsung.
Misalnya memasang spanduk yang isinya bersifat menghina di atas sebuah jalan raya, dilakukan pada saat malam hari yang ketika itu tidak ada seorangpun yang melihatnya.
Sedangkan ditempelkan (aanslaan), maksudnya ialah tulisan atau gambar tersebut ditempelkan pada benda lain yang sifatnya dapat ditempeli, misalnya papan, dinding gedung, pohon dan sebagainya.
C. Pasal 311 KUHP
Menyatakan sebagai berikut: “Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah mefitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun”.Pasal 311 KUHP ini disebut juga Fitnah, misalnya:
Si A mengatakan kepada si B bahwa si B adalah seorang Penjaja Seks Komersil (PSK) didepan si C atau si D, si A dapat dihukum telah melakukan fitnah apabila si A tidak bisa membuktikan kepada Hakim bahwa si B adalah seorang PSK namun apabila si A bisa membuktikan kepada Hakim bahwa si B adalah seorang PSK maka si A tidak bisa dikatakan sebagai fitnah;
Baca: Pengertian Mengenai Putusan Pengadilan
Ancaman Pidana Pelaku Penghinaan dalam UU ITE
Perbuatan Penghinaan, Menista atau Memfitnah di Media Sosial seperti di Blackberry Messenger (BBM), Facebook, WhatsApp, Instagram, YouTube, Twitter, Line dan sebagainya, menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan ancaman pidananya:1. Pasal 27 ayat 3 UU ITE
Menyatakan sebagai berikut: “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik”;Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini juga termuat unsur “yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” sebagaimana yang termuat juga didalam Pasal 310 ayat 1 dan 2 KUHP, sebagaimana yang telah Penulis uraikan diatas.
Hanya saja yang berbeda adalah cara mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang berarti kaitannya dengan elektronik.
2. Pasal 28 ayat 2 UU ITE
Menyatakan sebagai berikut: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)”.3. Pasal 45 ayat 1, ayat 2 UU ITE
Menyatakan sebagai berikut: ayat 1 “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”,Sedangkan ayat 2 menyatakan “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal, 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”;
Perbedaan perbuatan menghina, menista atau memfitnah dengan mengkritik orang lain atau mengemukakan pendapat;
Pasal 28F UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”
Ada perbedaan yang prinsip antara perbuatan menghina, menista atau memfitnah dengan mengkritik orang lain atau mengemukakan pendapat baik di media sosial atau dimuka umum;
Kritik adalah segala bentuk opini mengenai suatu perbuatan yang dirasakan kurang tepat oleh pemikiran pihak lain.
Ada kritik konstruktif dan ada kritik destruktif.
Contoh kritik konstruktif: “Maaf ada baiknya membuang sampah jangan sembarangan, silahkan membuang sampah pada tempatnya, ini saya ada tempat sampah” ini contoh kritik yang sempurna karena ada solusi didalamnya.
Coba bandingkan dengan kalimat ini “hei..jangan buang sampah sembarangan, seperti anjing saja, percuma sekolah tinggi-tinggi tapi kelakuan seperti anjing” ini adalah contoh kalimat kritik destruktif sekaligus memuat kata-kata penghinaan;
Prof. Andi Hamzah mengilustrasikan yaitu bila dirinya mengatakan kepada seseorang “lebih baik kamu pakai baju yang lain yang lebih bagus” berarti kritik.
Tetapi kalau dirinya mengatakan “anda ini cantik sekali, persis monyet di Ragunan” hal itu berarti penghinaan, tergantung kata-katanya dan apa yang diucapkan satu persatu;
Prof. J.E Sahetapy mengatakan kritik atau mengemukakan pendapat sangat dibolehkan apalagi demi kepentingan umum namun membutuhkan perhitungan dengan memperhatikan kultur (budaya);
Dari pendapat tersebut diatas bahwa, perbedaan menghina atau mengkritik tergantung kata-katanya dan apa yang diucapkan satu persatu, dan mengemukakan pendapat boleh-boleh saja karena dijamin oleh UUD 1945 namun harus tetap memperhatikan kultur (budaya) masyarakat Indonesia baik itu norma kepatutan maupun kesusilaan;
Selain itu pula dalam bicara dan mengemukakan pendapat hendaknya tetap memperhatikan ketentuan Pasal 28J ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
Ayat (1): “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”,
Ayat (2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”;
Baca: Pendekatan Restorative Justice
Kesimpulan
Bahwa kita sebagai manusia hendaknya menjaga perbuatan dan bicara kita, baik itu lisan maupun tulisan, harus menjunjung tinggi kesopanan.
Baik dalam mengkritik maupun mengemukakan pendapat.
Bukankah kita dikatakan manusia yang adil dan beradab sebagaimana dalam sila ke 2 Pancasila, yang berbunyi Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Jangan sampai karena kita emosi atau kesal kita mudah mengeluarkan kata-kata/ tulisan kotor, kata-kata/ tulisan yang tidak sopan sehingga menyakiti perasaan orang lain.
Selain itu kita hendaknya sebijaksana mungkin dalam menggunakan media sosial, bijaksana dan cerdas dalam membuat pernyataan ataupun memposting gambar di media sosial karena ancaman pidana yang tinggi sebagaimana dalam UU ITE.
Cukuplah Kasus Muhammad Arsyad dan Florence Sihombing menjadi pelajaran bagi kita semua. (RizalF)
TENTANG KAMI : Situs yang didedikasikan sebagai tempat untuk belajar Soal CPNS, Psikotes dan Blogging. Informasi terkini tentang Drakor terbaru, Loker, Lifestyle dan Teknologi. Terus ikuti kami untuk update artikel terbaru, atau ikuti kami di Facebook dan Twitter.
Menurut agan, kalo ahok masuk kategori mana?
BalasHapus